Mas Radit berada dalam posisi yang menyudutkannya sebagai tersangka saat lampu kembali menyala dan berpasang mata melihat. Posisi yang sangat pas karena ia tengah berjongkok di depan Ratna yang mendekap dadanya dengan beberapa bagian pakaian terkoyak.

"Apa yang mas Radit lakukan pada Ratna?" Bu Indah memekik seraya berlari ke arah Ratna dan mendorong tubuh Radit hingga terjungkal ke belakang.

"Bawa Radit k rumah pak kepala desa!" titah Pak Doni

"Apa-apaan ini? Saya hanya berniat menolong, tapi mendapat perlakuan tidak baik seperti ini." kata Radit berusaha membela diri saat dua orang pemuda menarik paksa kedua tangannya.

"Silakan jelaskan nanti," sahut Pak Doni.

"Jery, panggilkan orang tua Radit Mereka harus tahu perbuatan putra yang digadang-gadang dari keluarga terhormat," perintah Pak Doni pada salah satu pemuda.

"Baik, Pak." Jery pun berlari untuk memberi tahu keluarga besar Harry.

"Saya bisa menjelaskan kejadian sebenarnya," bela Radit Meski terpojok, dokter yang masih mengenyam pendidikan spesialis itu tetap terlihat tenang.

"Bawa dia ke rumah kepala desa!" perintah Doni lagi. Beliau memang orang yang cukup dihormati di desanya meskipun tidak sekaya keluarga Harry.

Jarak rumah Pak Doni dengan rumah kepala desa hanya sekitar lima ratus meter. Radit pun hanya mengikuti karena tidak ada cara untuknya mengelak saat ini. Bahkan, dikepung oleh warga satu desa yang pastinya lebih membela Ratna.

Tak berapa lama, Pak Harry bersama sang istri keluar dari mobil Toyota Alphard yang baru saja berhenti di depan rumah kepala desa. Gaya berjalan yang melanggak-lenggok khas ibu Suryani dengan sebuah kipas tak pernah lepas dari tangan membuat semua mata yang awalnya memandang sinis, seketika menunduk.

Entah ada magnet apa dalam diri ibu Suryani hingga membuat aura yang sangat kuat pada dirinya. Semua orang menghormati saat di depannya, tapi berubah benci saat tidak berada di dekat orangnya.

Ibu Suryani lansung duduk di kursi yang kosong dengan seringai yang sulit dijabarkan sambil menatap tajam putra pertamanya. Radit pun paham jika ibu tirinya itu memang tidak menyukainya sejak awal menikah dengan ayahnya. Tepatnya, iri karena Radit adalah pewaris pertama dari keluarganya.

"Bapak kira, kamu ndak suka sama perempuan, Le." Kata Bapak menghampiri putranya seraya menepuk bahunya cukup keras.

"Saya laki-laki normal, Bapak. Mana mungkin jika tidak terpesona dengan kecantikan Ratna." Kata Radit justru mengikuti alur peristiwa yang tengah terjadi. Ia tahu jika pembelaan apa pun yang keluar dari mulutnya adalah sia-sia.

"Tidak perlu diperpanjang lagi! Saya serahkan keputusan pada Pak Doni selaku orang yang dituakan di desa ini. Jika putra saya memang bersalah, silakan beri hukuman yang setimpal!" ucap Bapak tanpa basa-basi.

Mata ibu Suryani melirik sekilas pada putra tirinya. "Kapokmu, Le. Makanya jangan macam-macam sama Ibu," gumamnya pelan.

Semua orang terdiam. Bahkan, semua warga yang ikut berkumpul di rumah kepala  desa tidak ada satu pun yang berani membuka suara jika Pak Doni sedang menjadi hakim. Apalagi, ini adalah kasus yang menimpa putrinya sendiri.

Pak Doni mendekat pada Ratna yang masih saja terisak di samping Bu Inah. Kemudian, menyentuh puncak kepala sang putri dengan lembut.

"Nduk, kamu akan mendapat keadilan sekarang," bisik Pak Doni.

Laki-laki berkumis tipis itu menghela napas panjang sambil memejamkan mata. "Bismillah, saya minta pertanggungjawaban pada Radit untuk menikahi Ratna segera."

Semua mata membelalak mendengar ucapan lantang dan tegas dari Pak Doni. Radit pun tidak menyangka jika hukuman yang didapat adalah menikahi gadis buta yang sebenarnya hampir menjadi adik iparnya.

"Hukuman macam apa itu? Saya yang menolong Ratna dari laki-laki yang akan merenggut kesuciannya, tapi saya yang harus bertanggung jawab? Ini gila. Saya kira kamu perempuan baik-baik yang bisa membedakan yang benar dan yang salah meskipun tidak bisa melihat. Tapi saya salah, kamu sama saja. Atau mungkin, ini memang jebakan agar kamu tetap bisa menikah dengan putra dari keluarga Harry?" hardik Radit sambil menunjuk ke arah Ratna.

Ratna hanya diam tanpa berucap satu patah kata pun. Ia masih takut dengan yang baru saja dialami. Meskipun tahu jika memang bukan Radit yang melakukan, tapi Ratna memilih bungkam. Apalagi, keputusan Pak Doni yang akan menikahkannya dengan Radit membuatnya mempunyai harapan untuk bisa bertemu lagi dengan Aldi.

***

Radit  bukan laki-laki yang suka mengingkari sebuah komitmen. Meskipun hukuman itu dirasa sangat merugikannya, tapi ia tidak akan mengelak. Ada sebuah dorongan yang membuatnya yakin untuk menikahi Ratna. Bukan cinta, bukan pula rasa kasihan. Hanya ingin bisa membuat Ratna mendapatkan penglihatannya lagi. Dan untuk rencana selanjutnya, Radit masih belum bisa menentukan.

"Apa kamu yakin,Radit?" tanya  Bapak yang menghampiri putranya di dalam kamar.

"Untuk?"

"Menikah dengan gadis buta itu."

"Menurut Bapak, apa saya terlihat main-main?" Radit menghentikan aktivitasnya. Meletakkan pulpen yang baru saja digunakan untuk membuat grafiti nama Ratna di atas kertas gambar.

"Sepertinya, kamu jatuh cinta pada gadis buta itu."

"Ini bukan cinta, Bapak. Ini hanya rasa di mana aku ingat siapa dia sebenarnya."

"Kamu memang cerdas, Radit. Sementara, ibu dan adikmu yang hanya berpikir secara materi."

"Ini jebakan yang justru membuatku menemukan harta karun, Bapak."

Percakapan Radit dan bapak, diam-diam didengar oleh seseorang berjubah hitam dari balik jendela kamar. Ia tersenyum di balik tudung yang menutup sebagian wajahnya menyerupai cadar.

'Semua akan berjalan sesuai rencana,' ucapnya dalam hati.

Klontang!

Suara benda jatuh di luar jendela membuat Radit dan Bapak terperanjat. Keduanya bergegas ke arah jendela untuk memastikan.

Sepi.

Hanya beberapa batang bambu di sudut halaman belakang yang sudah tergeletak di atas tanah.

'Selalu saja ada yang menguntitku saat kembali ke rumah ini,' batin Radit.